Man’s Search for Meaning (1) Pengalaman di Kamp Konsentrasi
Pengalaman
pribadi, penderitaan yang tak putus-putus sebagaimana ditanggung oleh tawanan
Nazi. Ini adalah kisah nyata dari dalam sebuah kamp konsentrasi, ini adalah
kisah nyata yang diceritakan oleh salah seorang penyintas. Sejumlah tawanan
yang sakit atau lemah yang tak mampu lagi bekerja akan dikirm ke salah satu
kamp pusat yang besar yang dilengkapi dengan kamar gas dan crematorium.
Ada tiga fase yang dilalui para
tawanan sebagai reaksi mental mereka terhadap kehidupan di kamp konsentarasi,
yaitu : periode awal, ketika tawanan mulai masuk ke kamp konsentrasi; periode
kedua, ketika para tawanan mulai dikelilingi oleh rutinitas kehidupan kamp, dan
periode setelah pelepasan dan pembebasan tawanan.
Gejala yang menandai fase pertama
adalah syok (terguncang jiwanya). Saat sampai, pakaian kami dilucuti dan
telanjang bahkan mereka tak membiarkan sehelai rambut pun pada tubuh kami.
Disana kami kedinginan, kelaparan, kelelahan, disiksa dan dipaksa untuk terus
bekerja, keinginan untuk bunuh diri terbersit dalam benak hamper semua orang,
meskipun hanya sesaat.
Apatis, gejala utama fase kedua,
merupakanmekanisme pertahanan diri yang dibutuhkan. Realitas mengabur, semua
upaya dan emosi terpusat pada satu tujuan : mempertahankan hidupnya dan orang
lain. Kehidupan batin para tawanan ditekan sampai pada titik yang paling
pimitif dan kehilangan perasaan sentimental mereka.
Dan babak terakhir dalam psikologi
kamp konsentrasi, psikologi para tawanan yang telah dibebaskan. Apa yang
terjadi pada tawanan yang baru dibebaskan lazim disebut “depersonalisasi”.
Selain penurunan moral, ada dua hal yang bisa merusak karakter para tawanan :
kepahitan dan kekecewaan saat dia kembali ke kehidupan lamnya. Si tawanan
berpikir telah mencapai titik tertinggi dari penderitaan, sekarang mendapati
bahwa penderitaan tidak memiliki batas, bahwa dia masih lebih menderita lagi,
penderitaan yang lebih dalam.
Komentar
Posting Komentar